Cinta adalah satu kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Apalagi di kalangan remaja, karena sudah menjadi anggapan umum bahwa cinta identik dengan ungkapan rasa sepasang sejoli yang dimabuk asmara. Ada yang mengatakan cinta itu suci, cinta itu agung, cinta itu indah dan saking indahnya tak bias diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan dll. Bahkan Jalaludin Rumi menggambarkan saking indahnya cinta, setan pun berubah menjadi bidadari. Yang jelas karena cinta, banyak orang yang merasa bahagia namun sebaliknya karena cinta banyak pula orang yang dibuat tersiksa dan merana. Cinta dapat membuat seseorang menjadi sangat mulia, dan cinta pula yang menjadikan seseorang menjadi sangat tercela.
Kita tahu bagaimana kecintaan Khadijah ra kepada Rasulullah saw yang rela mengorbankan apa saja yang dimilikinya dengan perasaan bahagia demi perjuangan sang kekasih yang menjadikannya mulia. Sebaliknya ada pemudi yang mengorbankan kehormatannya demi untuk menyenangkan sang kekasih yang dia lakukan atas nama cinta. Atau ada remaja yang menghabiskan nyawanya dengan baygon hanya karena cinta. Cinta yang demikian yang membawanya kepada kehinaan.
Lalu, apa sebenarnya makna daripada cinta? Benarkah cinta hanyalah sepenggal kata namun mengandung sejuta makna? Atau pendapat para filosof bahwa makna cinta tergantung siapa yang memandang? Rupanya tepat seperti uangkapan Ibnu Qayyim Al Jauziah tentang cinta, bahwasanya, “Tidak ada batasan tentang cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri.”
Ada pun kata cinta itu sendiri secara bahasa adalah kecenderungan atau
keberpihakan. Bertolak dari sini cinta dapat didefinisikan sebagai sebuah gejolak jiwa dimana hati mempunyai kecenderungan yang kuat terhadap apa yang disenanginya sehingga membuat untuk tetap mengangankannya, menyebut namanya, rela berkorban atasnya dan menerima dengan segenap hati apa adanya dari yang dicintainya serasa kurang sekalipun, dan ia tumpahkan dengan kata-kata dan perbuatan.
Pandangan Islam terhadap Cinta
Cinta dalam pandangan Islam adalah suatu hal yang sakral. Islam adalah agama fitrah, sedang cinta itu sendiri adalah fitrah kemanusiaan. Allah telah menanamkan perasaan cinta yang tumbuh di hati manusia. Islam tidak pula melarang seseorang untuk dicintai dan mencintai, bahkan Rasulullan menganjurkan agar cinta tersebut diutarakan.
“Apabila seseorang mencintai saudaranya maka hendaklah ia memberitahu bahwa ia mencintainya.” (HR Abu Daud dan At-Tirmidzy).
Seorang muslim dan muslimah tidak dilarang untuk saling mencintai, bahkan dianjurkan agar mendapat keutamaan-keutamaan. Islam tidak membelenggu cinta,karena itu Islam menyediakan penyaluran untuk itu (misalnya lembaga pernikahan)dimana sepasang manusia diberikan kebebasan untuk bercinta.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu
pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang,…”(Ar-Ruum: 21)
Ayat di atas merupakan jaminan bahwa cinta dan kasih sayang akan Allah
tumbuhkan dalam hati pasangan yang bersatu karena Allah (setelah menikah). Jadi tak perlu menunggu “jatuh cinta dulu” baru berani menikah, atau pacaran dulu baru menikah sehingga yang menyatukan adalah si syetan durjana (na’udzubillahi min zalik). Jadi Islam jelas memberikan batasan-batasan, sehingga nantinya tidak timbul fenomena kerusakan pergaulan di masyarakat.
Dalam Islam ada peringkat-peringkat cinta, siapa yang harus didahulukan/diutamakan dan siapa/apa yang harus diakhirkan. Tidak boleh kita menyetarakan semuanya.
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (Al-Baqarah: 165)
Menurut Syaikh Ibnul Qayyim, seorang ulama di abad ke-7, ada enam peringkat cinta (maratibul-mahabah), yaitu:
1) Peringkat ke-1 dan yang paling tinggi/paling agung adalah tatayyum, yang merupakan hak Allah semata.
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Rabbul
‘alamiin.”
“Dan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah (S.2: 165)
Jadi ungkapan-ungkapan seperti: “Kau selalu di hatiku, bersemi di dalam qalbu”
atau “Kusebutkan namamu di setiap detak jantungku,” “Cintaku hanya untukmu,” dll selayaknya ditujukan kepada Allah. Karena Dialah yang memberikan kita segala nikmat/kebaikan sejak kita dilahirkan, bahkan sejak dalam rahim ibu… Jangan terbalik, baru dikasih secuil cinta dan kenikmatan sama si ‘do’i’ kita sudah mau menyerahkan jiwa raga kepadanya yang merupakan hak Allah. Lupa kepada Pemberi Nikmat, “Maka nikmat apa saja yang ada pada kalian, maka itu semua dari
Allah (S. 2: 165).
2) Peringkat ke-2; ‘isyk yang hanya merupakan hak Rasulullah saw.
Cinta yang melahirkan sikap hormat, patuh, ingin selalu membelanya, ingin mengikutinya,mencontohnya, dll, namun bukan untuk menghambakan diri kepadanya.
“Katakanlah jika kalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku (Nabi saw) maka Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)
3) Peringkat ke-3; syauq yaitu cinta antara mukmin dengan mukmin lainnya. Antara suami istri, anatar orang tua dan anak, yang membuahkan rasa mawaddah wa rahmah.
4) Peringkat ke-4; shababah yaitu cinta sesama muslim yang melahirkan ukhuwah Islamiyah.
5) Peringkat ke-5; ‘ithf (simpati) yang ditujukan kepada sesama manusia.Rasa simpati ini melahirkan kecenderungan untuk menyelamatkan manusia, berdakwah, dll.
6) Peringkat ke-6 adalah cinta yang paling rendah dan sederhana, yaitu cinta/keinginan kepada selain manusia: harta benda. Namun keinginan ini sebatas intifa’ (pendayagunaan/pemanfaatan).
(dinukil dari prayoga.net)
Kita tahu bagaimana kecintaan Khadijah ra kepada Rasulullah saw yang rela mengorbankan apa saja yang dimilikinya dengan perasaan bahagia demi perjuangan sang kekasih yang menjadikannya mulia. Sebaliknya ada pemudi yang mengorbankan kehormatannya demi untuk menyenangkan sang kekasih yang dia lakukan atas nama cinta. Atau ada remaja yang menghabiskan nyawanya dengan baygon hanya karena cinta. Cinta yang demikian yang membawanya kepada kehinaan.
Lalu, apa sebenarnya makna daripada cinta? Benarkah cinta hanyalah sepenggal kata namun mengandung sejuta makna? Atau pendapat para filosof bahwa makna cinta tergantung siapa yang memandang? Rupanya tepat seperti uangkapan Ibnu Qayyim Al Jauziah tentang cinta, bahwasanya, “Tidak ada batasan tentang cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri.”
Ada pun kata cinta itu sendiri secara bahasa adalah kecenderungan atau
keberpihakan. Bertolak dari sini cinta dapat didefinisikan sebagai sebuah gejolak jiwa dimana hati mempunyai kecenderungan yang kuat terhadap apa yang disenanginya sehingga membuat untuk tetap mengangankannya, menyebut namanya, rela berkorban atasnya dan menerima dengan segenap hati apa adanya dari yang dicintainya serasa kurang sekalipun, dan ia tumpahkan dengan kata-kata dan perbuatan.
Pandangan Islam terhadap Cinta
Cinta dalam pandangan Islam adalah suatu hal yang sakral. Islam adalah agama fitrah, sedang cinta itu sendiri adalah fitrah kemanusiaan. Allah telah menanamkan perasaan cinta yang tumbuh di hati manusia. Islam tidak pula melarang seseorang untuk dicintai dan mencintai, bahkan Rasulullan menganjurkan agar cinta tersebut diutarakan.
“Apabila seseorang mencintai saudaranya maka hendaklah ia memberitahu bahwa ia mencintainya.” (HR Abu Daud dan At-Tirmidzy).
Seorang muslim dan muslimah tidak dilarang untuk saling mencintai, bahkan dianjurkan agar mendapat keutamaan-keutamaan. Islam tidak membelenggu cinta,karena itu Islam menyediakan penyaluran untuk itu (misalnya lembaga pernikahan)dimana sepasang manusia diberikan kebebasan untuk bercinta.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu
pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang,…”(Ar-Ruum: 21)
Ayat di atas merupakan jaminan bahwa cinta dan kasih sayang akan Allah
tumbuhkan dalam hati pasangan yang bersatu karena Allah (setelah menikah). Jadi tak perlu menunggu “jatuh cinta dulu” baru berani menikah, atau pacaran dulu baru menikah sehingga yang menyatukan adalah si syetan durjana (na’udzubillahi min zalik). Jadi Islam jelas memberikan batasan-batasan, sehingga nantinya tidak timbul fenomena kerusakan pergaulan di masyarakat.
Dalam Islam ada peringkat-peringkat cinta, siapa yang harus didahulukan/diutamakan dan siapa/apa yang harus diakhirkan. Tidak boleh kita menyetarakan semuanya.
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (Al-Baqarah: 165)
Menurut Syaikh Ibnul Qayyim, seorang ulama di abad ke-7, ada enam peringkat cinta (maratibul-mahabah), yaitu:
1) Peringkat ke-1 dan yang paling tinggi/paling agung adalah tatayyum, yang merupakan hak Allah semata.
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Rabbul
‘alamiin.”
“Dan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah (S.2: 165)
Jadi ungkapan-ungkapan seperti: “Kau selalu di hatiku, bersemi di dalam qalbu”
atau “Kusebutkan namamu di setiap detak jantungku,” “Cintaku hanya untukmu,” dll selayaknya ditujukan kepada Allah. Karena Dialah yang memberikan kita segala nikmat/kebaikan sejak kita dilahirkan, bahkan sejak dalam rahim ibu… Jangan terbalik, baru dikasih secuil cinta dan kenikmatan sama si ‘do’i’ kita sudah mau menyerahkan jiwa raga kepadanya yang merupakan hak Allah. Lupa kepada Pemberi Nikmat, “Maka nikmat apa saja yang ada pada kalian, maka itu semua dari
Allah (S. 2: 165).
2) Peringkat ke-2; ‘isyk yang hanya merupakan hak Rasulullah saw.
Cinta yang melahirkan sikap hormat, patuh, ingin selalu membelanya, ingin mengikutinya,mencontohnya, dll, namun bukan untuk menghambakan diri kepadanya.
“Katakanlah jika kalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku (Nabi saw) maka Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)
3) Peringkat ke-3; syauq yaitu cinta antara mukmin dengan mukmin lainnya. Antara suami istri, anatar orang tua dan anak, yang membuahkan rasa mawaddah wa rahmah.
4) Peringkat ke-4; shababah yaitu cinta sesama muslim yang melahirkan ukhuwah Islamiyah.
5) Peringkat ke-5; ‘ithf (simpati) yang ditujukan kepada sesama manusia.Rasa simpati ini melahirkan kecenderungan untuk menyelamatkan manusia, berdakwah, dll.
6) Peringkat ke-6 adalah cinta yang paling rendah dan sederhana, yaitu cinta/keinginan kepada selain manusia: harta benda. Namun keinginan ini sebatas intifa’ (pendayagunaan/pemanfaatan).
(dinukil dari prayoga.net)
1 comment:
Asslm.Wr.Wb
Bout love'y keren abiez, izin copy-past yuah, jazakallah
Post a Comment