Lagi-lagi Allah turunkan azab untuk bangsa Indonesia. Kali ini, azab tsunami tersebut melanda di pesisir pantai Selatan Jawa dan Jabar, serta gempa bumi cukup besar di Banten (Pandeglang), pada tanggal 17 dan 19 Juli 2006.
Gempa dan tsunami yang melanda daerah itu cukup mengejutkan kita.Sungguh tragis! itulah komentar kami, sebab azab Allah di DIY belum selesai ditanggulangi oleh pemerintah, begitu pula kehancuran Aceh, Nias, Sulsel yang dilanda longsor di beberapa kabupaten, Kalsel yang dilanda banjir serta lahar panas di Jatim dan sejumlah bencana lainnya.
Azab Allah melanda terus menerus untuk bangsa ini. Kenapa dan apa sebabnya hal itu terjadi? Sebab, pemimpin bangsa ini tak tahu diri dan tak bersyukur kepada Allah. Saat pencalonan Presiden dan Wapres pada pemilu lalu, mereka berbondong-bondong ke Mekkah (untuk umroh) dan meminta serta mengemis/mengiba kepada Allah di hadapan Kabah. Tapi, sungguh naïf setelah terpilih dan jadi penguasa, mereka malah ‘’menyembah’’ berhala ideologi buatan orang. Ternyata, ideologi Pancasila yang digali dari ideologi San Min Chu I—karangan Dr. Sun Yat Sen itu tidak bermanfaat, tak membawa berkah dan rahmat buat bangsa ini. Malah, bangsa ini diazab terus menerus oleh Allah, akibat penguasa bangsa ini enggan menerapkan konsep Al-Qur’an dan Syariat-NYA.
Selain azab Allah yang keras dan diperkirakan akan terus melanda bangsa ini, ternyata rakyat Indonesia menderita sederet persoalan antara lain, kemiskinan, kemelaratan, korupsi merajalela, busung lapar, pengangguran, demam berdarah, suap menyuap, dll.
Sungguh memprihatinkan terjadinya gempa bumi dan tsunami di wilayah ini yang diakibatkan oleh ulah pemimpin negeri ini yang tak bersyukur kepada Allah yang Maha Berkuasa. Alangkah bodohnya mereka hanya mengamalkan ideologi buatan orang, sementara itu Al-Quran dikesempingkan. Akhirnya, Allah murka luar biasa kepada mereka. OIeh sebab itu, seakan-akan bangsa ini sebagai bangsa yang terkutup seperti kaum Aad (umat Nabi Huud) yang dibinasakan Allah dalam sekejap saja. Padahal, kala itu umat Nabi Huud maju sekali dan punya gedung-gedung tinggi seperti di kota besar di Jakarta.
Untuk direnungi oleh kita semua, marilah kita renungi penyebab bencana DIY dan bencana tsunami di pesisir Pantai Jawa dan Jabar. Semua itu, selain ada kegiatan musyrik, ternyata di wilayah itu maksiat merajalela luar biasa. Perzinah, pelacuran, perjudian bukan main marak di daerah tersebut. Akibat merajalela maksiat, Allah murka kepada mereka.
PRAKTEK-PRAKTEK musyrik (menyekutukan Allah) sudah berlangsung ratusan tahun di wilayah Yogyakarta, terutama di pesisir pantai Ngerenehan—dekat Pantai Parang Tritis, Gunung Kidul, Yogyakarta. Perdukunan dan pelacuran pun demikian marak di daerah ini. Maksiat dan perbuatan musyrik sudah jadi rahasia umum memang demikian merebak di wilayah DIY. Penulis seringkali beroleh keluhan dari seorang warga Yogyakarta, bahwa di daerah tertentu di DIY sudah demikian marak tempat pelacuran. Penguasa setempat pun (bupati) malah melindungi tempat pelacuran itu!
Jauh sebelum kejadian bencana Yogyakarta tersebut, praktek prostitusi sangat marak di sepanjang pantai Selatan Bantul. Maksiat merajalela di sepanjang pantai tersebut yang melibatkan ratusan pekeja seks komersial yang datang dari berbagai daerah lain. Di Pantai Desa Srigading, Kecamatan Sanden, DIY, ternyata banyak menyediakan tempat penginapan yang menjadi salah satu tempat transaksi seks.
Selain itu, praktek musyrik yang kerap dilakukan oleh para nelayan di wilayah Pantai Ngerenehan antara lain, menyiapkan sesaji yang terdiri atas nasi uduk yang dibuat seperti gunung (congcot). Congcot itu dikelilingi buah-buahan segar dan ayam utuh yang sudah dimasak. Para fakir miskin di daerah itu berbondong-bondong melihat tradisi labuhan di pantai tersebut, tapi apa daya air liur mereka harus ditelan saja, karena mereka tak dapat menikmati makanan itu. Lalu, sesaji yang sudah siap itu dibawa ke tengah laut, kemudian dibuang.
Tradisi musyrik yang sudah turun temurun itu biasanya dilakukan pada satu Suro (1 Muharam). Hingga bencana terjadi, Pemda DIY dan penguasa Yogyakarta (sultan) tak pernah melarang acara labuhan itu. Namun, para pelaku musyrik di Pantai Ngerenehan tersebut harus dibayar amat mahal oleh masyarakat sekitar Yogyakarta yang tak ikut acara itu, tapi mereka harus menanggung akibatnya. Anehnya, ulama setempat (MUI Yogyakarta) juga tidak melarang acara musyrik tersebut. Para pelaku musyrik merasa yakin bahwa sesaji yang dibuang ke laut itu untuk ‘’Penguasa Laut Selatan.’’ Ternyata, ritual musyrik tersebut demikian marak juga di seluruh Indonesia, sehingga bencana demi bencana tak dapat dihindari lagi, akibat adanya perbuatan menyekutukan Allah itu.
Karena acara (ritual) musyrik itu tak dilarang dan sering dilakukan oleh sebagian masyarakat jahiliyah di wilayah pesisir pantai, maka gempa bumi dahsyat yang terjadi pada Sabtu (27/5) lalu, ternyata berpusat di sekitar 37 kilometer sebelah selatan Pantai Parang Tritis—tak jauh dari Pantai Ngerenehan. Perbuatan musyrik, jelas-jelas dilarang keras oleh ajaran Islam. Namun ritul labuhan tersebut oleh penguasa setempat dianggap kebudayaan yang harus dilestarikan.
Mereka menganggap tak afdol jika acara mubazir labuhan itu tidak dilakukan pada setiap satu Suro. Padahal, ritual itu merupakan perbuatan musyrik yang sangat dibenci oleh Allah SWT,sehingga menimbulkan murka dari-NYA. Mengapa acara labuhan para nelayan di pantai Ngerenehan dibenci Allah ? Sebab, mereka membuang sesaji ke laut untuk bersyukur kepada penguasa laut Selatan yang berupa jin (iblis) Nyi Loro Kidul. Padahal, alam ini dikuasai oleh Allah SWT. Dialah yang patut disembah dan disyukuri. Rachmat dan rezeki yang diberikan-NYA patut kita syukuri. Dengan demikian, acara labuhan para nelayan dan masyarakat setempat, selain maksiat yang merajalela di DIY, merupakan penyebab utama gempa bumi yang demikian banyak menelan korban jiwa.
Gempa dan tsunami yang melanda daerah itu cukup mengejutkan kita.Sungguh tragis! itulah komentar kami, sebab azab Allah di DIY belum selesai ditanggulangi oleh pemerintah, begitu pula kehancuran Aceh, Nias, Sulsel yang dilanda longsor di beberapa kabupaten, Kalsel yang dilanda banjir serta lahar panas di Jatim dan sejumlah bencana lainnya.
Azab Allah melanda terus menerus untuk bangsa ini. Kenapa dan apa sebabnya hal itu terjadi? Sebab, pemimpin bangsa ini tak tahu diri dan tak bersyukur kepada Allah. Saat pencalonan Presiden dan Wapres pada pemilu lalu, mereka berbondong-bondong ke Mekkah (untuk umroh) dan meminta serta mengemis/mengiba kepada Allah di hadapan Kabah. Tapi, sungguh naïf setelah terpilih dan jadi penguasa, mereka malah ‘’menyembah’’ berhala ideologi buatan orang. Ternyata, ideologi Pancasila yang digali dari ideologi San Min Chu I—karangan Dr. Sun Yat Sen itu tidak bermanfaat, tak membawa berkah dan rahmat buat bangsa ini. Malah, bangsa ini diazab terus menerus oleh Allah, akibat penguasa bangsa ini enggan menerapkan konsep Al-Qur’an dan Syariat-NYA.
Selain azab Allah yang keras dan diperkirakan akan terus melanda bangsa ini, ternyata rakyat Indonesia menderita sederet persoalan antara lain, kemiskinan, kemelaratan, korupsi merajalela, busung lapar, pengangguran, demam berdarah, suap menyuap, dll.
Sungguh memprihatinkan terjadinya gempa bumi dan tsunami di wilayah ini yang diakibatkan oleh ulah pemimpin negeri ini yang tak bersyukur kepada Allah yang Maha Berkuasa. Alangkah bodohnya mereka hanya mengamalkan ideologi buatan orang, sementara itu Al-Quran dikesempingkan. Akhirnya, Allah murka luar biasa kepada mereka. OIeh sebab itu, seakan-akan bangsa ini sebagai bangsa yang terkutup seperti kaum Aad (umat Nabi Huud) yang dibinasakan Allah dalam sekejap saja. Padahal, kala itu umat Nabi Huud maju sekali dan punya gedung-gedung tinggi seperti di kota besar di Jakarta.
Untuk direnungi oleh kita semua, marilah kita renungi penyebab bencana DIY dan bencana tsunami di pesisir Pantai Jawa dan Jabar. Semua itu, selain ada kegiatan musyrik, ternyata di wilayah itu maksiat merajalela luar biasa. Perzinah, pelacuran, perjudian bukan main marak di daerah tersebut. Akibat merajalela maksiat, Allah murka kepada mereka.
PRAKTEK-PRAKTEK musyrik (menyekutukan Allah) sudah berlangsung ratusan tahun di wilayah Yogyakarta, terutama di pesisir pantai Ngerenehan—dekat Pantai Parang Tritis, Gunung Kidul, Yogyakarta. Perdukunan dan pelacuran pun demikian marak di daerah ini. Maksiat dan perbuatan musyrik sudah jadi rahasia umum memang demikian merebak di wilayah DIY. Penulis seringkali beroleh keluhan dari seorang warga Yogyakarta, bahwa di daerah tertentu di DIY sudah demikian marak tempat pelacuran. Penguasa setempat pun (bupati) malah melindungi tempat pelacuran itu!
Jauh sebelum kejadian bencana Yogyakarta tersebut, praktek prostitusi sangat marak di sepanjang pantai Selatan Bantul. Maksiat merajalela di sepanjang pantai tersebut yang melibatkan ratusan pekeja seks komersial yang datang dari berbagai daerah lain. Di Pantai Desa Srigading, Kecamatan Sanden, DIY, ternyata banyak menyediakan tempat penginapan yang menjadi salah satu tempat transaksi seks.
Selain itu, praktek musyrik yang kerap dilakukan oleh para nelayan di wilayah Pantai Ngerenehan antara lain, menyiapkan sesaji yang terdiri atas nasi uduk yang dibuat seperti gunung (congcot). Congcot itu dikelilingi buah-buahan segar dan ayam utuh yang sudah dimasak. Para fakir miskin di daerah itu berbondong-bondong melihat tradisi labuhan di pantai tersebut, tapi apa daya air liur mereka harus ditelan saja, karena mereka tak dapat menikmati makanan itu. Lalu, sesaji yang sudah siap itu dibawa ke tengah laut, kemudian dibuang.
Tradisi musyrik yang sudah turun temurun itu biasanya dilakukan pada satu Suro (1 Muharam). Hingga bencana terjadi, Pemda DIY dan penguasa Yogyakarta (sultan) tak pernah melarang acara labuhan itu. Namun, para pelaku musyrik di Pantai Ngerenehan tersebut harus dibayar amat mahal oleh masyarakat sekitar Yogyakarta yang tak ikut acara itu, tapi mereka harus menanggung akibatnya. Anehnya, ulama setempat (MUI Yogyakarta) juga tidak melarang acara musyrik tersebut. Para pelaku musyrik merasa yakin bahwa sesaji yang dibuang ke laut itu untuk ‘’Penguasa Laut Selatan.’’ Ternyata, ritual musyrik tersebut demikian marak juga di seluruh Indonesia, sehingga bencana demi bencana tak dapat dihindari lagi, akibat adanya perbuatan menyekutukan Allah itu.
Karena acara (ritual) musyrik itu tak dilarang dan sering dilakukan oleh sebagian masyarakat jahiliyah di wilayah pesisir pantai, maka gempa bumi dahsyat yang terjadi pada Sabtu (27/5) lalu, ternyata berpusat di sekitar 37 kilometer sebelah selatan Pantai Parang Tritis—tak jauh dari Pantai Ngerenehan. Perbuatan musyrik, jelas-jelas dilarang keras oleh ajaran Islam. Namun ritul labuhan tersebut oleh penguasa setempat dianggap kebudayaan yang harus dilestarikan.
Mereka menganggap tak afdol jika acara mubazir labuhan itu tidak dilakukan pada setiap satu Suro. Padahal, ritual itu merupakan perbuatan musyrik yang sangat dibenci oleh Allah SWT,sehingga menimbulkan murka dari-NYA. Mengapa acara labuhan para nelayan di pantai Ngerenehan dibenci Allah ? Sebab, mereka membuang sesaji ke laut untuk bersyukur kepada penguasa laut Selatan yang berupa jin (iblis) Nyi Loro Kidul. Padahal, alam ini dikuasai oleh Allah SWT. Dialah yang patut disembah dan disyukuri. Rachmat dan rezeki yang diberikan-NYA patut kita syukuri. Dengan demikian, acara labuhan para nelayan dan masyarakat setempat, selain maksiat yang merajalela di DIY, merupakan penyebab utama gempa bumi yang demikian banyak menelan korban jiwa.
by : suara muslim.com
No comments:
Post a Comment